top of page
Search

Bagi Ibu Tunggal, Stigma Sulit Digoyahkan


Oleh Citra Benazir



"Ada 7 juta perempuan di Indonesia yang menjadi kepala keluarga"





Sejak pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan penutupan sekolah untuk mencegah penyebaran COVID-19 pada Maret 2020, semua kegiatan pendidikan beralih ke daring. “Pembelajaran jarak jauh” telah menempatkan tuntutan baru pada waktu dan sumber daya orang tua. Ibu yang paling merasakan beban ini. Bahkan sebelum pandemi, Ibu yang bekerja di Indonesia (seperti di belahan dunia lainnya) harus menanggung beban ganda, melakukan pekerjaan berbayar sebagai “shift pertama” mereka, sebelum menangani pekerjaan rumah tangga sebagai “shift kedua” mereka. Selama pandemi, Ibu sekarang memiliki shift tambahan untuk mengatur pendidikan anak-anak mereka secara online. Ibu sekarang menghabiskan hingga 4,5 jam per hari untuk mendukung pendidikan anak-anak mereka selama pandemi, meningkat dari 1-1,5 jam di waktu pra-pandemi normal.






Setelah mengetahui fakta-fakta di atas, mari kita alihkan perhatian kepada sekelompo

k orang yang masih sangat terdiskriminasi yaitu Ibu Tunggal. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia tahun 2016 menunjukkan, setidaknya ada 7 juta perempuan di Indonesia yang menjadi kepala keluarga. Penyebabnya bisa karena perceraian, ditinggal suami merantau, atau meninggal. Mayoritas dari perempuan kepala keluarga ini hidup di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung tahun 1973 dan Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2010, anak di bawah umur akan diserahkan perwaliannya secara perdata kepada ibunya dengan melampirkan surat atau alat bukti hubungan darah dari sang ayah. Jadi, merujuk pada ketentuan dan putusan tersebut, ibu yang melahirkan lah yang memiliki kedudukan hukum untuk menjaga, merawat, mengasuh, memelihara, mendidik hingga melindungi anak sampai dewasa.




Namun, peran sebagai seorang ibu tunggal sangat tidak mudah. Stereotip janda masih sangat tinggi di antara kehidupan perempuan di Indonesia yang menyebabkan mereka menjalani kehidupan yang sulit dan terpinggirkan. Janda, khususnya apabila masih muda, dianggap tidak bermoral dan penuh birahi. Laki-laki masih seringkali mengekspresikan fantasi tentang janda dan mengobjektifikasi serta menseksualisasi janda, sementara perempuan yang sudah menikah takut bahwa janda akan menggoda suami mereka. Budaya populer dan gosip dari mulut ke mulut meningkatkan stereotip ini, yang mengarah ke pengucilan dan stigma di kehidupan nyata.




Faktanya, sebagian besar ibu tunggal mengatakan bahwa mereka tidak akan memberi tahu seseorang yang baru mereka temui kalau mereka adalah seorang ibu tunggal, dikarenakan masih ada "label" yang secara otomatis dikaitkan dan dihakimi. Beberapa bahkan mengingat jelas tentang komentar sengit yang diucapkan oleh kerabat, kolega, atau kenalan, khususnya di lingkungan sekolah anak mereka oleh orang tua murid lain. Ada juga yang mengingat ketika dijauhkan dari lingkaran sosial setelah perceraian mereka atau tidak diundang ketika keluarga dan pasangan orang tua murid lainnya berkumpul. Ibu tunggal juga seringkali dihakimi secara negatif oleh para guru dan staf di sekolah anaknya, dan ini berdampak negatif pada keterlibatan dalam pendidikan anak-anak mereka. Mereka mengungkapkan perasaan tidak berdaya dan harus diadakannya rekomendasi strategi keterlibatan bagi sekolah untuk memungkinkan pengalaman pendidikan yang lebih inklusif bagi semua jenis unit keluarga apapun situasi dan kondisinya.


Dampak dari stereotip ini juga terlihat pada anak-anak, dengan banyak anak di negara kita yang tumbuh dengan kedua orang tua di rumah — struktur keluarga yang lebih diterima — mereka yang tinggal di rumah tangga orang tua tunggal terkadang merasa sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan tertentu. Jadi, ketika sekolah menyelenggarakan program Hari Ibu atau Hari Ayah atau acara lain yang melibatkan kedua orang tua, seorang anak dengan orang tua tunggal mungkin merasa ditinggalkan, sehingga menimbulkan sejumlah pertanyaan yang tidak terjawab. Belum lagi bagaimana teman sekelasnya mungkin secara bertahap belajar tentang kondisi keluarga teman mereka dan memandangnya secara berbeda bahkan hingga merundungi, yang berdampak pada kesehatan emosional dan mental anak.


Di situlah sekolah dapat turun tangan, bersama dengan orang tua, untuk membantu murid, di mana inklusivitas, kasih sayang, dan keterbukaan pikiran adalah prasyarat. Mengakui perbedaan adalah satu hal tetapi membeda-bedakan adalah hal lain. Bukan hanya sistem pendidikan, masyarakat Indonesia juga masih tidak tahu bagaimana menghadapi struktur keluarga yang berbeda. Perbedaan atau ketidaksesuaian apa pun membuat banyak orang tidak nyaman.


Sebagai masyarakat, kita harus mengubah stigma dan stereotip yang ada dengan tidak lagi melanggengkan budaya ini terus berlangsung. Kita harus membantu semua ibu tunggal yang ada disekitar kita untuk meringankan beban mereka serta perlahan memberi contoh kepada orang lain untuk melakukan yang sama. Tapi tentunya, negara harus juga turut memberi bantuan, mulai dengan memberikan peluang secara finansial dan sosial untuk para ibu tunggal dari berbagai kelas sosial di Indonesia karena banyak macam tantangan yang saat ini telah dihadapi oleh ibu tunggal, misalnya seputar administrasi negara seperti urusan Kartu Keluarga, pengaktifan BPJS Kesehatan hingga penulisan nama orang tua di ijazah anak. Perempuan masih dianggap bukan sebagai kepala keluarga, sehingga mendapatkan bayaran lebih rendah dibandingkan laki-laki. Sedangkan untuk perempuan menikah yang bekerja, beberapa perusahaan tidak memberikan tunjangan karena perempuan dianggap bukan kepala rumah tangga meski porsi kerja sama dengan laki-laki. Masyarakat dan pemerintah sangat perlu mengedukasi semua untuk mengubah sikap terhadap ibu tunggal. Untuk dapat menghargai ibu tunggal sebagaimana perempuan lainnya, masyarakat perlu memiliki empati terhadap siapapun agar dapat menghargai orang lain dengan latar belakang dan perjuangannya masing-masing.

61 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page