top of page
Search

Infertilitas Bukan Alasan Untuk Mempermalukan Perempuan

Oleh Citra Benazir




"Di dunia modern ini, fenomena umum seperti infertilitas seharusnya tidak menjadi hal yang tabu. Orang yang infertil berhak diperlakukan dengan rasa hormat yang sama seperti individu lain dalam masyarakat. Terutama mempermalukan perempuan karena tidak bisa bereproduksi adalah tradisi yang tidak masuk akal yang harus kita tinggalkan."


Meskipun banyak upaya untuk melawan stigma tentang infertilitas dan keguguran, kesuburan dan keguguran tetap menjadi suatu hal yang tabu, dimana dapat menyebabkan mereka yang mengalami takut untuk berbagi pengalamannya dengan orang lain. Bagi teman, kerabat, keluarga dan masyarakat umum yang belum pernah mengalaminya tidak tahu bagaimana harus menanggapinya. Beberapa secara jujur mengatakan ​​tidak nyaman untuk mendengarnya sama sekali. Maka dari itu, harus terus kita coba untuk membicarakannya. Dengan 1 dari 8 pasangan mengalami infertilitas – dan hingga 25% kehamilan berakhir dengan keguguran – mengapa sebagai masyarakat kita begitu tidak nyaman mendiskusikan peristiwa kehidupan yang relatif umum ini?



Infertilitas mengacu pada ketidakmampuan untuk hamil, bahkan setelah satu tahun berhubungan seksual tanpa kondom antara suami dan istri. Pasangan yang tidak dapat bereproduksi seolah-olah dicap tidak subur. Infertilitas dapat disebabkan oleh masalah pada salah satu pasangan, atau keduanya: Untuk laki-laki, penurunan jumlah sperma, kualitas sperma yang buruk dan/atau penyumbatan yang mencegah sperma dikeluarkan. Pada perempuan, indung telur tidak dapat menghasilkan sel telur, sel telur yang telah dibuahi tidak dapat menempel pada dinding rahim dan/atau sel telur mengalami kesulitan untuk berpindah dari rahim ke rahim. Ada banyak masalah lain, seperti kelainan genetik, konsumsi obat-obatan dan alkohol, dan tekanan mental yang mungkin ada pada kedua belah pihak.


Meskipun perempuan dan laki-laki sama-sama bisa infertil, tetapi pengalaman yang mereka alami sangat berbeda. Seringkali ditentukan oleh peran reproduksi yang dimiliki masing-masing, serta norma-norma sosial. Masyarakat terus menyoroti dan menyalahkan infertilitas pada perempuan setiap kali pasangan tidak dapat bereproduksi. Misalnya, ada penekanan yang lebih besar pada perempuan untuk menjadi ibu pada usia tertentu. Setiap penyimpangan dari ini sering memicu komentar dan pertanyaan yang sangat pribadi (dan tidak sopan), yang tidak dialami oleh laki-laki.


Dapat dikatakan bahwa prasangka ini berasal dari tanggung jawab "yang dibebankan" kepada perempuan untuk melahirkan anak, serta dampak yang diketahui dari usia perempuan terhadap kesuburan. Akibatnya, perempuan infertil didiskriminasi, disalahkan dan dicap sebagai tidak layak.


Dalam kasus-kasus tertentu, mereka bahkan mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan dijauhi oleh keluarga dan masyarakat.


Walaupun secara biologis, perempuanlah yang menjalani sebagian besar tes dan perawatan invasif dan aspek fisik dari perawatan kesuburan dan kehamilan terfokus lebih kepada perempuan, tapi laki-laki juga sering kali merasa dikesampingkan. Misalnya, ketika sepasang suami istri mengalami keguguran, orang sering bertanya kepada suami bagaimana kondisi istrinya, tanpa mengakui dan menyadari bahwa ini juga sebuah kehilangan untuk seorang suami. Walaupun laki-laki dan perempuan mengalami berbagai aspek infertilitas dan kehilangan secara berbeda, mereka sudah seharusnya melalui ini bersama-sama. Oleh karena itu, penting untuk dimengerti bahwa dampaknya terjadi kepada kedua pasangan dan harus diakui, dan dipahami oleh tim medis dan keluarga, kerabat dan masyarakat umum.




Mempermalukan infertilitas memiliki banyak efek psikologis. Orang yang infertil dapat memiliki tingkat depresi, kecemasan, dan tekanan emosional yang sangat tinggi. Banyak yang menderita dari kepercayaan diri yang rendah karena mereka percaya bahwa mereka tidak pantas memiliki kemampuan untuk hamil. Kadang-kadang, kecemasan bahkan dapat menyebabkan disfungsi seksual, yang selanjutnya dapat semakin mempengaruhi kesuburan mereka.


Sudah saatnya kita menormalisasikan pembicaraan tentang infertilitas dan keguguran. Sudah saatnya kita berhenti mempermalukan masalah medis orang lain yang tidak bisa mereka kendalikan. Mulailah berbicara tentang infertilitas dan keguguran. Jika orang-orang bereaksi buruk, jelaskan kepada mereka bahwa apa yang mereka katakan menyakitkan dan tidak benar.


Di dunia modern ini, fenomena umum seperti infertilitas seharusnya tidak menjadi hal yang tabu. Orang yang infertil berhak diperlakukan dengan rasa hormat yang sama seperti individu lain dalam masyarakat. Terutama mempermalukan perempuan karena tidak bisa bereproduksi adalah tradisi yang tidak masuk akal yang harus kita tinggalkan.








22 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page